Keberhasilan materi memang menyajikan pemandangan yang
gemerlap. Menyilaukan sekaligus mengundang decak kagum. Penampilan yang wah nan
megah, mengundang semua yang memandang dan menginginkan, untuk bergabung.
Apakah Anda akan berpaling dari semua kenikmatan ini?
Tapi siapa yang cerdas bisa menangkap pesan; ada yang tidak
beres di sana. Ada ketidakseimbangan. Ada luka di balik gelak tawa. Ada tangis
di ujung senyum manis. Ada siksa di kelimpahan harta. Ada yang hilang jika iman
tak lagi bersarang di hati.
Tidak banyak yang bisa mengambil pelajaran. Menyingkirkan
kekaguman dari kehebatan dalam maksiat, membuang keterpesonaan akan sejuta
capaian yang mencampakkan iman. Bahwa Allah menunjukkan keadilan-Nya dalam
tipuan makna sukses dan keberhasilan, sebab ia harus berkelindan dengan
ketakwaan. Yang jika tidak, ia adalah siksa di balik perolehan, meski membuat
orang lain menyumbangkan penghargaan dan membangun kekaguman.
Siksa itu adalah hal yang bisa disaksikan, demikian Ibnul Qayyim menjelaskan. Berupa jiwa yang lapar dan tidak pernah terpuaskan, selalu mencari tanpa pernah henti, sebab ibarat meminum air asin, semakin diminum akan semakin membuat dahaga. Matanya yang lapar selalu nanar melihat yang lebih.Sebab, tidaklah manusia mendapatkan sesuatu dari dunia kecuali dia akan menginginkan yang selainnya. Lebih baik, lebih banyak. Bukankah andaipun manusia memiliki dua lembah harta, dia akan menginginkan lembah yang ketiga? Dan hanya kematian yang bisa menghentikannya.
Juga lelahnya raga. Karena manusia yang menghamba kepada
materi, dalam upayanya memenuhi laparnya jiwa, membawa fisiknya tersaruk-saruk
sepanjang waktu. Tiada waktu untuk beribadah dan beristirahat sebab ia bermakna
menghilangkan kesempatan menambah pundi-pundi. Bukankah Allah akan
menyibukkannya dengan aktivitas tiada henti?
Belum lagi kesombongan yang akan tumbuh seiring pengakuannya
akan keberhasilan. Melampaui batas-batas kepantasan, melupakan hari kemudian,
hingga menihilkan bekal untuk pulang menghadapNya. Adakah yang lebih buruk
daripada manusia yang merasa tidak membutuhkan Allah dalam hidupnya?
Karena pada manusia berhimpun akal, ruh dan badan. Sedang
semua pencapaian yang membanggakan itu, hakikatnya hanyalah melayani kebutuhan
badan. Padahal akal butuh keyakinan akan pilihan aktivitas yang menyiapkan
bekal, sedang ruh butuh kenyamanan dalam keseimbangan paduan jiwa malaikat dan
nafsu binatang.
Karena enggan berbicara tentang kematian dan hari pembalasan
adalah sebuah pengingkaran hakikat, maka, ada luka batin yang nyata jika
perolehan materi manusia, membuatnya berpaling dari agama. Kelak, dia akan
menyesal dan kecewa sebab semuanya tidak memberinya apa-apa, selain kehampaan
dan sia-sia. Ini juga sebuah siksa. Tapi apakah kita bisa merasakannya?
Oleh : Ustadz Tri Asmoro
Oleh : Ustadz Tri Asmoro