Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Kalau hari ini anak-anak itu menangis, apakah yang akan mereka
harapkan tatkala berlarian mendekat kepadamu? Adakah engkau tawarkan
kepada mereka setangkup roti ataukah engkau bentangkan tanganmu untuk
mendekapnya dengan penuh ketulusan dan kehangatan?
Berbincang tentang ibu, apakah yang mengantarkan orang-orang besar
itu meraih kemuliaan dan kehebatannya? Apakah karena cerdasnya seorang
ibu dalam mengasuh ataukah tulusnya cinta mereka sehingga bersedia
berpayah-payah dan berletih-lelah mendampingi buah hatinya mempelajari
kehidupan? Ataukah karena ibu yang mengikhlaskan rasa sakitnya untuk
mendidik dan mengasuh anaknya?
Pertanyaan yang sama juga patut kita ajukan ketika kita mendapati
kisah orang-orang jenius. Darimanakah mereka berasal? Apakah dari rahim
para ibu yang jenius dan mengerti betul tentang kecerdasan maupun bakat
anaknya? Atau, pertanyaan itu perlu kita balik sejenak, perlukah seorang
ibu mengetahui bakat dan kecerdasan anaknya agar mampu mengantarkan
sang buah hati menjadi manusia jenius?
Ini memang pernyataan konyol, tetapi saya serius mengajak Anda untuk
menjawab secara jujur seraya merenung; sebelum ada tes bakat, sudah
pernah adakah orang-orang yang dikenal luas karena kemampuannya yang
cemerlang? Sebelum ada tes IQ, adakah jenius-jenius besar yang mewarnai
sejarah? Kita tak dapat mengelak bahwa amat banyak, bahkan amat sangat
banyak sosok cemerlang yang pemikiran, temuan dan usaha gigihnya
berpengaruh besar terhadap sejarah peradaban manusia hingga hari ini.
Sebaliknya, kita masih menunggu –jika benar sesuai klaim
mereka—manusia-manusia jenius yang terlahir dari musik Mozart atau
pendekatan instant lainnya?
Sejak tahun 1996, telah ratusan ribu kopi keping CD, kaset maupun
file digital musik Mozart beredar demi memenuhi mitos bahwa musik Mozart
menjadikan anak kita jenius. Tetapi sampai hari ini, tak satu pun
jenius yang terlahir darinya. Hasil paling nyata dari mitos tentang
musik Mozart yang didengung-dengungkan tanpa pijakan riset ilmiah
memadai adalah industri musik dengan keuntungan besar tanpa perlu banyak
biaya promosi.
Teringatlah saya dengan pernyataan Alex Ross sebagaimana dapat kita
baca pada buku Talent is Overrated karya Geoff Colvin. Ross menyatakan,
“Orangtua yang ambisius dan sekarang ini sedang mempertontonkan video
“Baby Mozart” kepada bayinya bisa kecewa tatkala mempelajari bahwa
Mozart menjadi Mozart karena kerja keras yang luar biasa.”
Cukuplah bagi kita peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk menampik mitos tentang musik Mozart. Cepat atau lambat,
segala yang bertentangan dengan syariat akan tampak kelemahan dan
kekeliruannya.
Mari sejenak kita mengingat sabda Nabi, “Kelak akan ada sekelompok
kaum dari umatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki),
khamr, dan, alat-alat musik.” (Riwayat Bukhari)
Bagaimana mungkin kita akan mencetak generasi Muslim yang tangguh dan
jenius, sementara jalan yang kita tempuh justru bertentangan dengan
agama ini?
Di luar itu, buku Colvin sendiri –sebagaimana tercermin dalam
judulnya– menunjukkan betapa kita sering berlebihan menilai (overrated)
bakat. Kita sibuk mengejar, mengetahui, dan meyakinkan diri tentang
bakat anak kita. Sesudahnya kita bersibuk memenjarakan anak dengan hanya
memberi rangsangan pada apa-apa yang kita yakini sebagai bakatnya.
Padahal boleh jadi, apa yang sekarang tampaknya merupakan bakat anak
kita, hanya merupakan bekal awal untuk menuju keunggulan berikutnya yang
saat ini justru menjadi titik lemahnya. Banyak dari kita yang meyakini
anak memiliki kecerdasan majemuk, tetapi memperlakukannya seakan
berbakat tunggal (single talent treatment), yakni hanya menempa apa yang
kita anggap sebagai bakatnya berdasarkan hasil tes bakat yang
reliabilitas dan validitasnya amat sangat perlu dipertanyakan.
Ironis.
Tetapi, marilah kita kembali pada pertanyaan, perlukah kita
mengetahui IQ anak? Pentingkah orangtua memahami bakat anak? Rasanya
sedih ketika saya harus menyampaikan bahwa pengetahuan tentang bakat
anak hampir tidak ada manfaatnya. Menelusuri hasil-hasil riset yang
diungkap oleh Andrew Robinson dalam bukunya bertajuk “Sudden Genius?”,
kita terhenyak bahwa pemahaman tentang bakat tak banyak berperan
mengantarkan anak menjadi manusia-manusia brilian. Sebaliknya, kita
mendapati betapa banyak orang-orang sukses yang justru lahir dari
ibu-ibu lugu. Carl Frederich Gauss yang berjuluk “The Princes of
Mathematics” lahir dari orangtua tak berpendidikan. Ibunya bahkan buta
huruf. Begitu pula sejumlah jenius lain.
Apakah Imam Syafi’i Rahimahullah menjadi sosok yang sangat fenomenal
dengan kepakaran yang nyaris tak tertandingi hingga hari ini, lahir dari
ibu yang mendalami bakat anak? Tidak. Tes bakat bahkan belum ada saat
itu. Apakah Imam Ahmad Rahimahullah yang hafal dan paham puluhan ribu
Hadist lahir dari ibu yang telah belajar tentang teknik mengingat
instant? Tidak. Tetapi mereka memiliki ketulusan, penerimaan tanpa
syarat, cita-cita besar, dan kesediaan untuk berpayah-payah mendampingi
anaknya. Mereka tak letih memberi usapan sayang dan sentuhan penuh
perhatian kepada buah hatinya. Mereka tak putus-putus mendoakan anaknya.
Yang mereka bangun bukan percaya diri anak, tetapi keyakinan yang kuat
kepada Allah ‘Azza wa Jalla semenjak hari-hari awal kehidupan anak.
Pertanyaan, masihkah engkau mengusap anakmu ketika mereka sedang
gelisah? Masih adakah ketulusan itu di hatimu? Adakah kerelaan untuk
berpayah-payah mengasuh dan mendampingi mereka? Ataukah kita cukup
mempercayakan pendidikan mereka kepada sekolah saja? Padahal kelak
kitalah yang akan ditanya atas iman anak-anak kita. Ataukah untuk
menyiapkan anak-anak agar menjadi pribadi yang cerdas dan cemerlang,
kita cukup mengandalkan lembaga bimbingan belajar atau bisnis kecerdasan
ajaib yang tak pernah melahirkan manusia jenius?
Menerima secara tulus berarti ridha atas apa yang dikaruniakan kepada
kita melalui anak-anak kita. Maka kita bersungguh-sungguh mengasuh
mereka, menyayangi mereka, memberi dukungan tatkala mereka menghadapi
kesulitan dan bukannya mengambil alih kesulitan tersebut. Semoga dengan
demikian anak-anak itu kelak memiliki kesanggupan menghadapi tugas-tugas
berat demi memperjuangkan agamanya.
Semoga kelak mata kita disejukkan oleh hadirnya anak-anak yang
merelakan keringatnya, hartanya dan letih-lelahnya untuk menolong agama
Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka berpenat-penat karena amat sangat
mengingini akhirat. Bukan karena terpukau gemerlap dunia.
Masalahnya, dimanakah kita harus menyekolahkan anak-anak kita agar
mereka memperoleh pendidikan yang menghidupkan jiwa mereka, menegakkan
iman mereka, dan membangkitkan tekad yang kuat untuk senantiasa
memperjuangkan agamanya?
Sumber: www.hidayatullah.com